Tempat Kejadian Perkara, Daerah Hukum Polisi, dan Kewenangan Relatif Pengadilan - BRIGADE 86 - Cara Cepat Belajar Komputer dan Belajar Blog
Headlines News :
www.lazada.com
Powered by Blogger.
lazada
Home » » Tempat Kejadian Perkara, Daerah Hukum Polisi, dan Kewenangan Relatif Pengadilan

Tempat Kejadian Perkara, Daerah Hukum Polisi, dan Kewenangan Relatif Pengadilan

Written By Teknik Dasar Listrik on Monday 16 December 2013 | 13:37

Jasa Like Fanpage Murah 2014, 2015, 2016
Ketika kita ingin melaporkan suatu tindak pidana atau kejahatan, Kita dapat langsung datang ke kantor kepolisian yang terdekat pada lokasi peristiwa pidana tersebut terjadi. Adapun daerah hukum kepolisian meliputi:
  • Daerah hukum kepolisian Markas Besar (MABES) POLRI untuk wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  • Daerah hukum kepolisian Daerah (POLDA) untuk wilayah Provinsi;
  • Daerah hukum kepolisian Resort (POLRES) untuk wilayah Kabupaten/kota;
  • Daerah hukum kepolisian Sektor (POLSEK) untuk wilayah kecamatan.
Untuk wilayah administrasi kepolisian, daerah hukumnya dibagi berdasarkan pemerintahan daerah dan perangkat sistem peradilan pidana terpadu (Pasal 2 ayat [2] PP 23/2007). Sebagai contoh jika Kita melihat ada tindak pidana di suatu kecamatan, maka kita dapat melaporkan hal tersebut ke Kepolisian tingkat Sektor (POLSEK) di mana tindak pidana itu terjadi. Akan tetapi, Anda juga dibenarkan/dibolehkan untuk melaporkan hal tersebut ke wilayah administrasi yang berada di atasnya, misal melapor ke POLRES, POLDA atau MABES POLRI.
Kewenangan relatif pengadilan negeri
Lalu, mengenai si pelaku yang sekarang berada di pulau lain dan di pengadilan mana penuntutan pidana yang kita ajukan dapat diproses, kita mengacu pada dasar menentukan kewenangan relatif pengadilan negeri.
M. Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (hal. 96), menjelaskan bahwa pada dasarnya masalah sengketa kewenangan mengadili yang diatur pada Bagian Kedua, Bab XVI adalah kewenangan mengadili secara relatif. Artinya, Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi mana yang berwenang mengadili suatu perkara. Landasan pedoman menentukan kewenangan mengadili bagi setiap Pengadilan Negeri ditinjau dari segi kompetensi relatif, diatur dalam Bagian Kedua, Bab X, Pasal 84, Pasal 85, dan Pasal 86 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”). Bertitik tolak dari ketentuan yang dirumuskan dalam ketiga pasal tersebut, ada beberapa kriteria yang bisa dipergunakan Pengadilan Negeri sebagai tolak ukur untuk menguji kewenangannya mengadili perkara yang dilimpahkan penuntut umum kepadanya. Kriteria-kriteria yang dimaksud antara lain adalah:
a.    Tindak pidana dilakukan (locus delicti)
b.    Tempat tinggal terdakwa dan tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil
Berikut penjelasannya:
a.    Tempat tindak pidana dilakukan (locus delicti)
Menurut M. Yahya Harahap (ibid hal. 96-97), inilah asas atau kriteria yang pertama dan utama. Pengadilan Negeri berwenang mengadili setiap perkara pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 84 ayat (1) KUHAP yang berbunyi:
Pengadilan negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya.”
Asas atau kriteria yang dipergunakan pada pasal ini adalah “tempat tindak pidana dilakukan” atau disebut locus delicti. M. Yahya Harahap mengatakan bahwa prinsip dimaksud didasarkan atas tempat terjadinya tindak pidana. Di tempat mana dilakukan tindak pidana atau di daerah hukum Pengadilan Negeri mana dilakukan tindak pidana, Pengadilan Negeri tersebut yang berwenang mengadili. Asas ini merupakan ketentuan umum dalam menentukan kewenangan relatif. Yang pertama-tama diteliti menentukan berwenang tidaknya memeriksa suatu perkara yang dilimpahkan penuntut umum berdasar “tempat terjadinya” tindak pidana. Pengadilan Negeri meneliti dengan seksama apakah tindak pidana itu terjadi di wilayah hukumnya. Jika sudah nyata terjadi di lingkungan wilayah hukumnya, dia yang berwenang memeriksa dan mengadilinya. Sebaliknya, apabila dari hasil penelitian ternyata perbuatan tindak pidana dilakukan di luar wilayah hukumnya, tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadilinya dan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan menyerahkan surat pelimpahan perkara tersebut kepada Pengadilan Negeri yang dianggapnya berwenang, dengan jalan mengeluarkan surat “penetapan”.
b.    Tempat tinggal terdakwa dan tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil
M. Yahya Harahap (Ibid, hal. 99-100) menjelaskan bahwa asas kedua menentukan kewenangan relatif berdasar tempat tinggal sebagian besar saksi. Jika saksi yang hendak dipanggil sebagian besar bertempat tinggal atau lebih dekat dengan suatu Pengadilan Negeri maka Pengadilan Negeri tersebut yang paling berwenang memeriksa dan mengadili. Asas ini diatur dalam Pasal 84 ayat (2) KUHAP (dan sekaligus mengecualikan atau menyingkirkan asas locus delicti) yang berbunyi:
Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan.”
Lebih lanjut, M. Yahya Harahap menjelaskan bahwa penerapan asas tempat kediaman, dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:
1)  Apabila terdakwa bertempat tinggal di daerah hukum Pengadilan Negeri di mana sebagian besar saksi yang hendak dipanggil bertempat tinggal.

Agar asas ini dapat diterapkan, terdapat dua syarat yang harus dipenuhi:
  • Terdakwa bertempat tinggal di daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
  • Sebagian besar saksi yang hendak dipanggil bertempat tinggal di daerah hukum pengadilan negeri tersebut.
Dengan dipenuhinya kedua syarat tersebut, kewenangan relatif mengadili terdakwa atau memeriksa perkara, beralih dari Pengadilan Negeri tempat di mana peristiwa pidana terjadi ke Pengadilan Negeri tempat di mana terdakwa bertempat tinggal.
2)   Tempat kediaman terakhir terdakwa
Syarat yang harus dipenuhi:
  • Terdakwa berkediaman terakhir di daerah hukum suatu Pengadilan Negeri.
  • Sebagian besar saksi yang hendak dipanggil bertempat tinggal di daerah hukum Pengadilan Negeri tersebut.
Jadi, apabila terdakwa melakukan tindak pidana di suatu daerah hukum Pengadilan Negeri, akan tetapi ternyata terdakwa berkediaman terakhir di daerah hukum Pengadilan Negeri yang lain. Demikian pula, saksi-saksi yang hendak dipanggil sebagian besar bertempat tinggal atau lebih dekat dengan daerah hukum Pengadilan Negeri tempat kediaman terakhir terdakwa, asas locus delicti dapat dikesampingkan, dan yang berwenang mengadili ialah Pengadilan Negeri tempat kediaman terakhir terdakwa.
3)   Di tempat terdakwa diketemukan
Di samping itu, tempat terdakwa diketemukan dapat dijadikan asas menentukan kewenangan relatif Penagdilan Negeri dengan jalan menyampingkan locus delicti dengan syarat:
  • Terdakwa diketemukan di suatu daerah hukum Pengadilan Negeri, serta
  • Saksi-saksi yang hendak dipanggil kebanyakan bertempat tinggal atau lebih dekat dengan Pengadilan Negeri tempat di mana terdakwa diketemukan.
Tempat terdakwa diketemukan dapat mengesampingkan asas locus delicti apabila sebagian besar saksi yang akan dipanggil bertempat tinggal atau lebih dekat dengan Pengadilan Negeri tempat di mana terdakwa diketemukan.
4)   Di tempat terdakwa ditahan
Syarat-syaratnya adalah:
  • Tempat penahanan terdakwa
  • Saksi-saksi yang hendak diperiksa sebagian besar bertempat tinggal atau lebih dekat ke Pengadilan Negeri tempat di mana terdakwa ditahan
Dengan demikian, berdasarkan penjelasan yang telah kami uraikan di atas dapat disimpulkan bahwa kita dapat melakukan proses perkara dengan melakukan penuntutan atas dasar tindak pidana sesuai kompetensi relatif pengadilan negeri berdasarkan asas-asas dan persyaratan yang kami jelaskan.
Pada intinya, di manapun orang yang menjadi pelaku kejahatan/penggelapan barang dan lain-lain  berada, tuntutan dan jeratan hukum terhadapnya dapat dilakukan meskipun keberadaan si pelaku berbeda pulau dengan kita.
Dasar hukum:
  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
  2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2007 tentang Daerah Hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia
Referensi:
  1. R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor.
  2. M. Yahya Harahap. 2010. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Sinar Grafika: Jakarta.
DISCLAIMER : Seluruh informasi dan data yang disediakan dalam Klinik hukum ini adalah bersifat umum dan disediakan untuk tujuan pendidikan saja. Dengan demikian tidak dianggap sebagai suatu nasehat hukum.

Disarankan untuk mengecek kembali dasar hukum yang digunakan dalam artikel ini untuk memastikan peraturan perundang-undangan yang digunakan masih berlaku.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Original Basic Design by Absolut Website Creator Modified by Oemah Web Banjar - West Java