1. Perlu kami jelaskan bahwa sesuai Pasal 6 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”), “Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.” Hal ini ditegaskan pula melalui Penjelasan Pasal 6 ayat (1) UUP disebutkan:
“Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak azasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun.”
Jadi, berdasarkan ketentuan Pasal 6 UUP tersebut, maka tiada seorangpun dapat dipaksa atau memaksa orang lain untuk menikah.
Maka, wajar saja apabila pimpinan dari lelaki tersebut tidak dapat memaksanya untuk menikahi teman Anda. Karena tindakan memaksa seseorang untuk menikah adalah suatu pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 6 UUP. Simak juga penjelasan dalam artikel Bisakah Menuntut Jika Si Cowok Tidak Mau Menikahi Putri Kami?
Jelas kiranya bahwa tiada suatu dasar hukum yang dapat digunakan untuk memaksa lelaki tersebut untuk menikahi teman Anda meskipun teman Anda sudah menggugurkan kandungannya.
Meski demikian, jika lelaki tersebut pernah berjanji akan menikahi teman Anda namun tidak ditepatinya, maka si perempuan dapat menggugat lelaki tersebut atas dasar Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Lebih jauh, simak artikel Tidak Menepati Janji Menikahi Adalah PMH.
2. Melihat pada pengaturan Pasal 9 UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (“UU 31/1997”) yang berbunyi:
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer berwenang:
1. Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah:
a. Prajurit;
b. yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan Prajurit;
c. anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai Prajurit berdasarkan undang-undang;
d. seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, dan huruf c tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
2. Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.
3. Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang bersangkutan atas permintaan dari pihak yang dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan, dan sekaligus memutus kedua perkara tersebut dalam satu putusan.
Dari pengaturan Pasal 9 UU 31/1997 dapat kita simpulkan bahwa pengadilan militer hanya berwenang untuk mengadili hal-hal sebagaimana tersebut di atas. 1. Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah:
a. Prajurit;
b. yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan Prajurit;
c. anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai Prajurit berdasarkan undang-undang;
d. seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, dan huruf c tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
2. Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.
3. Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang bersangkutan atas permintaan dari pihak yang dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan, dan sekaligus memutus kedua perkara tersebut dalam satu putusan.
Sehingga, selain mendasarkan pada uraian kami pada poin 1 di atas, mengadili masalah keperdataan antara teman Anda dan kekasihnya bukanlah salah satu kewenangan dari pengadilan militer. Untuk itu, kekasih teman Anda itu tidak dapat digugat maupun dituntut di pengadilan militer untuk menikahi teman Anda.
3. Perlu kami jelaskan, bahwa pada dasarnya setiap orang dilarang melakukan aborsi berdasarkan Pasal 75 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ("UU Kesehatan").
Pengecualian terhadap larangan melakukan aborsi ini diberikan HANYA dalam 2 kondisi berikut (Pasal 75 ayat [2] UU Kesehatan):
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
Sanksi pidana bagi pelaku aborsi diatur dalam Pasal 194 UU Kesehatan yang berbunyi;
"Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar."
Selain itu, ketentuan pidana lain terkait dengan aborsi ini dapat kita lihat dalam Pasal 346 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ("KUHP") yang menyatakan:
“Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Dengan demikian, praktik aborsi yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana disebut di atas merupakan aborsi yang dilarang.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, teman Anda dapat dikenai sanksi pidana jika terbukti telah melakukan aborsi ilegal. Begitu juga, kekasih teman Anda juga dapat dipidana jika terbukti telah memerintahkan teman Anda melakukan aborsi ilegal. Selengkapnya mengenai aborsi dapat dibaca dalam artikel Ancaman Pidana Terhadap Pelaku Aborsi Ilegal.
Namun, penuntutan perkara pidana teman Anda karena menggugurkan kandungannya tidaklah dapat dilakukan di pengadilan militer. Hal ini dikarenakan teman Anda adalah warga sipil, sedangkan pengadilan militer hanya berwenang untuk mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit, atau orang-orang tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 9 huruf b s/d huruf c UU 31/1997.
Jadi, tuntutan pidana terhadap teman Anda tidak akan dilakukan di pengadilan militer tapi di pengadilan umum.
Sekian, semoga membantu.
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
3. Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer;
4. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Post by Doel Piero.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !