Pertanyaan:
Saya mencintai seorang wanita "C" yang waktu itu sedang punya pacar "A". Lalu karena usaha saya, saya mampu mengambil hati "C" sehingga dia bersedia berpacaran dengan saya. Lalu kami merencanakan menikah, tetapi terjadi hubungan badan pranikah. Pernikahan kami dipercepat karena "C" hamil. Setelah berjalan satu tahun, "C" jujur pernah berhubungan badan dengan "A" sebelum kami menikah, setelah pernah berhubungan badan dengan saya. Setelah saya amati anak kami, sepertinya adalah keturunan dari "A". Apakah saya bisa menuntut "A" atau "C"?
Jawaban:
Menurut hemat kami, untuk mengetahui dengan pasti apakah Anda adalah ayah biologis dari anak tersebut atau bukan, tidak cukup hanya dengan mengamati ciri-ciri fisik atau sifat-sifat anak tersebut. Anda perlu membuktikan siapa ayah biologis dari anak tersebut menggunakan bantuan teknologi seperti tes deoxyribonucleic acid (tes DNA). Tes DNA untuk menentukan siapa orangtua dari seorang anak, sudah sering digunakan sebagaimana pernah dibahas dalam artikel lain, Beberapa Kasus yang Dipecahkan dengan Tes DNA.
Dalam artikel tersebut dijelaskan antara lain pendapat dari ahli DNA Forensik dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Djaja S Atmadja. Dia mengatakan bahwa penggunaan tes DNA dalam kasus hukum di Indonesia bukan barang baru. Djaja memberikan beberapa contoh kasus yang telah berhasil diselesaikan dengan bantuan tes DNA, antara lain:
1. Kasus yang terjadi di Purwokerto. Yakni, seorang anak berusia 13 tahun yang hamil dan melahirkan. Si anak yang mengalami kelainan mental ini tak bisa dimintai keterangannya di persidangan karena di bawah umur. Si anak hanya mengatakan main kuda-kudaan dengan kakeknya. Sementara, si kakek yang disebut juga sudah pikun. Sehingga, tak bisa dimintai keterangan. Akhirnya, pengadilan meminta dilakukan tes DNA. Lalu, terbukti bahwa anak itu adalah anak si kakek. Ini sebagai kasus incest antara kakek dan cucunya.
2. Seorang gadis berusia 12 tahun ditemukan hamil delapan bulan. Pengakuan si gadis, dia diperkosa oleh tetangganya yang berusia 20 tahun. Karena si gadis masih anak-anak maka sesuai hukum yang berlaku di Indonesia, keterangannya tak bisa dipertimbangkan di pengadilan. Parahnya, tak ada saksi perbuatan itu dan tersangka tak mengakui perbuatannya. Berdasarkan pemeriksaan DNA dari tersangka, anak dan darah tali pusat maka janin itu adalah benar anak tersangka. DNA ini awalnya satu-satunya bukti. Hukum Indonesia membutuhkan minimal dua alat bukti. Akhirnya, tersangka mengaku setelah tes DNA ini sehingga didapat dua alat bukti, hasil tes DNA dan pengakuan tersangka.
3. Kasus perselingkuhan. Seorang wanita yang hamil tiba-tiba menggugurkan kandungannya. Suami wanita ini curiga dengan sikap istrinya yang mengaborsi janin tanpa persetujuannya. Tes DNA pun dilakukan. Hasilnya, janin bayi itu bukan anak dari suami resminya.
Selain itu, sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel berjudul Bisakah Menuntut Karena Dihamili Teman Kos?, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 46/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) juga mengatur mengenai pembuktian hubungan anak dengan orangtuanya berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan penambahan frasa dalam Pasal 43 UU Perkawinan, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya
Berdasarkan putusan MK tersebut, melalui pembuktian dengan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti dengan cara tes DNA, dapat diketahui siapa yang merupakan ayah kandung dari anak Anda tersebut.
Berdasarkan Pasal 44 UU Perkawinan, sebagai seorang suami, Anda dapat menyangkal ke‑sah-an anak yang dilahirkan oleh istri Anda dalam perkawinan Anda dan istri Anda. Untuk menyangkal sahnya anak tersebut, Anda harus dapat membuktikan bahwa istri Anda telah berzinah dan anak itu akibat dari perzinahan tersebut. Pada akhirnya Pengadilan yang akan menentukan mengenai sah atau tidaknya anak tersebut sebagai anak yang lahir dalam perkawinan Anda dan istri Anda.
Sedangkan, dalam hal Anda dan istri Anda beragama Islam, berlaku ketentuan dalam Pasal 102 Kompilasi Hukum Islam
(1) Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari istrinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama.
(2) Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu itu tidak dapat diterima.
Mengenai penuntutan, apabila yang Anda maksud adalah penuntutan pidana, tidak ada ketentuan dalam hukum pidana yang mengatur mengenai hal tersebut. Jika Anda ingin menuntut berdasarkan penipuan dalam Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), perbuatan istri Anda harus memenuhi unsur-unsur dalam pasal tersebut.
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Unsur-unsur yang harus dipenuhi agar dapat dipidana dengan Pasal 368 KUHP adalah:
1. Seseorang.
2. Bermaksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum.
3. Memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan.
4. Menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapus piutang.
Selain itu terhadap tindak pidana penipuan, berlaku ketentuan dalam Pasal 367 KUHP
(1) Jika pembuat atau pembantu dari salah satu kejahatan dalam bab ini adalah suami (istri) dari orang yang terkena kejahatan dan tidak terpisah meja dan ranjang atau terpisah harta kekayaan, maka terhadap pembuat atau pembantu itu tidak mungkin diadakan tuntutan pidana.
(2) Jika dia adalah suami (istri) yang terpisah meja dan ranjang atau terpisah harta kekayaan, atau jika dia adalah keluarga sedarah atau semenda, baik dalam garis lurus maupun garis menyimpang derajat kedua, maka terhadap orang itu hanya mungkin diadakan penuntutan jika ada pengaduan yang terkena kejahatan.
(3) Jika menurut lembaga matriarkal, kekuasaan bapak dilakukan oleh orang lain daripada bapak kandung (sendiri), maka ketentuan ayat di atas berlaku juga bagi orang itu.
Sebagai referensi, baca artikel:
1. Bagaimana Membuktikan Kebenaran Pengakuan Istri Soal Asal Usul Anak?
2. Forensik DNA, Tak Hanya Sekedar Memperjelas Status Biologis.
Demikian dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Saya mencintai seorang wanita "C" yang waktu itu sedang punya pacar "A". Lalu karena usaha saya, saya mampu mengambil hati "C" sehingga dia bersedia berpacaran dengan saya. Lalu kami merencanakan menikah, tetapi terjadi hubungan badan pranikah. Pernikahan kami dipercepat karena "C" hamil. Setelah berjalan satu tahun, "C" jujur pernah berhubungan badan dengan "A" sebelum kami menikah, setelah pernah berhubungan badan dengan saya. Setelah saya amati anak kami, sepertinya adalah keturunan dari "A". Apakah saya bisa menuntut "A" atau "C"?
Jawaban:
Menurut hemat kami, untuk mengetahui dengan pasti apakah Anda adalah ayah biologis dari anak tersebut atau bukan, tidak cukup hanya dengan mengamati ciri-ciri fisik atau sifat-sifat anak tersebut. Anda perlu membuktikan siapa ayah biologis dari anak tersebut menggunakan bantuan teknologi seperti tes deoxyribonucleic acid (tes DNA). Tes DNA untuk menentukan siapa orangtua dari seorang anak, sudah sering digunakan sebagaimana pernah dibahas dalam artikel lain, Beberapa Kasus yang Dipecahkan dengan Tes DNA.
Dalam artikel tersebut dijelaskan antara lain pendapat dari ahli DNA Forensik dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Djaja S Atmadja. Dia mengatakan bahwa penggunaan tes DNA dalam kasus hukum di Indonesia bukan barang baru. Djaja memberikan beberapa contoh kasus yang telah berhasil diselesaikan dengan bantuan tes DNA, antara lain:
1. Kasus yang terjadi di Purwokerto. Yakni, seorang anak berusia 13 tahun yang hamil dan melahirkan. Si anak yang mengalami kelainan mental ini tak bisa dimintai keterangannya di persidangan karena di bawah umur. Si anak hanya mengatakan main kuda-kudaan dengan kakeknya. Sementara, si kakek yang disebut juga sudah pikun. Sehingga, tak bisa dimintai keterangan. Akhirnya, pengadilan meminta dilakukan tes DNA. Lalu, terbukti bahwa anak itu adalah anak si kakek. Ini sebagai kasus incest antara kakek dan cucunya.
2. Seorang gadis berusia 12 tahun ditemukan hamil delapan bulan. Pengakuan si gadis, dia diperkosa oleh tetangganya yang berusia 20 tahun. Karena si gadis masih anak-anak maka sesuai hukum yang berlaku di Indonesia, keterangannya tak bisa dipertimbangkan di pengadilan. Parahnya, tak ada saksi perbuatan itu dan tersangka tak mengakui perbuatannya. Berdasarkan pemeriksaan DNA dari tersangka, anak dan darah tali pusat maka janin itu adalah benar anak tersangka. DNA ini awalnya satu-satunya bukti. Hukum Indonesia membutuhkan minimal dua alat bukti. Akhirnya, tersangka mengaku setelah tes DNA ini sehingga didapat dua alat bukti, hasil tes DNA dan pengakuan tersangka.
3. Kasus perselingkuhan. Seorang wanita yang hamil tiba-tiba menggugurkan kandungannya. Suami wanita ini curiga dengan sikap istrinya yang mengaborsi janin tanpa persetujuannya. Tes DNA pun dilakukan. Hasilnya, janin bayi itu bukan anak dari suami resminya.
Selain itu, sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel berjudul Bisakah Menuntut Karena Dihamili Teman Kos?, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 46/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) juga mengatur mengenai pembuktian hubungan anak dengan orangtuanya berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan penambahan frasa dalam Pasal 43 UU Perkawinan, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya
Berdasarkan putusan MK tersebut, melalui pembuktian dengan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti dengan cara tes DNA, dapat diketahui siapa yang merupakan ayah kandung dari anak Anda tersebut.
Berdasarkan Pasal 44 UU Perkawinan, sebagai seorang suami, Anda dapat menyangkal ke‑sah-an anak yang dilahirkan oleh istri Anda dalam perkawinan Anda dan istri Anda. Untuk menyangkal sahnya anak tersebut, Anda harus dapat membuktikan bahwa istri Anda telah berzinah dan anak itu akibat dari perzinahan tersebut. Pada akhirnya Pengadilan yang akan menentukan mengenai sah atau tidaknya anak tersebut sebagai anak yang lahir dalam perkawinan Anda dan istri Anda.
Sedangkan, dalam hal Anda dan istri Anda beragama Islam, berlaku ketentuan dalam Pasal 102 Kompilasi Hukum Islam
(1) Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari istrinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama.
(2) Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu itu tidak dapat diterima.
Mengenai penuntutan, apabila yang Anda maksud adalah penuntutan pidana, tidak ada ketentuan dalam hukum pidana yang mengatur mengenai hal tersebut. Jika Anda ingin menuntut berdasarkan penipuan dalam Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), perbuatan istri Anda harus memenuhi unsur-unsur dalam pasal tersebut.
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Unsur-unsur yang harus dipenuhi agar dapat dipidana dengan Pasal 368 KUHP adalah:
1. Seseorang.
2. Bermaksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum.
3. Memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan.
4. Menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapus piutang.
Selain itu terhadap tindak pidana penipuan, berlaku ketentuan dalam Pasal 367 KUHP
(1) Jika pembuat atau pembantu dari salah satu kejahatan dalam bab ini adalah suami (istri) dari orang yang terkena kejahatan dan tidak terpisah meja dan ranjang atau terpisah harta kekayaan, maka terhadap pembuat atau pembantu itu tidak mungkin diadakan tuntutan pidana.
(2) Jika dia adalah suami (istri) yang terpisah meja dan ranjang atau terpisah harta kekayaan, atau jika dia adalah keluarga sedarah atau semenda, baik dalam garis lurus maupun garis menyimpang derajat kedua, maka terhadap orang itu hanya mungkin diadakan penuntutan jika ada pengaduan yang terkena kejahatan.
(3) Jika menurut lembaga matriarkal, kekuasaan bapak dilakukan oleh orang lain daripada bapak kandung (sendiri), maka ketentuan ayat di atas berlaku juga bagi orang itu.
Sebagai referensi, baca artikel:
1. Bagaimana Membuktikan Kebenaran Pengakuan Istri Soal Asal Usul Anak?
2. Forensik DNA, Tak Hanya Sekedar Memperjelas Status Biologis.
Demikian dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Post by Doel Piero.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !