Ketika kita ingin
melaporkan suatu tindak pidana atau kejahatan, Kita dapat langsung
datang ke kantor kepolisian yang terdekat pada lokasi peristiwa pidana
tersebut terjadi. Adapun daerah hukum kepolisian meliputi:
- Daerah hukum kepolisian Markas Besar (MABES) POLRI untuk wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
- Daerah hukum kepolisian Daerah (POLDA) untuk wilayah Provinsi;
- Daerah hukum kepolisian Resort (POLRES) untuk wilayah Kabupaten/kota;
- Daerah hukum kepolisian Sektor (POLSEK) untuk wilayah kecamatan.
(Pasal 4 ayat [1] Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2007 tentang Daerah Hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia [“PP 23/2007”])
Untuk
wilayah administrasi kepolisian, daerah hukumnya dibagi berdasarkan
pemerintahan daerah dan perangkat sistem peradilan pidana terpadu (Pasal 2 ayat [2] PP 23/2007).
Sebagai contoh jika Kita melihat ada tindak pidana di suatu kecamatan,
maka kita dapat melaporkan hal tersebut ke Kepolisian tingkat Sektor
(POLSEK) di mana tindak pidana itu terjadi. Akan tetapi, Anda juga
dibenarkan/dibolehkan untuk melaporkan hal tersebut ke wilayah
administrasi yang berada di atasnya, misal melapor ke POLRES, POLDA atau
MABES POLRI.
Kewenangan relatif pengadilan negeri
Lalu,
mengenai si pelaku yang sekarang berada di pulau lain dan di pengadilan
mana penuntutan pidana yang kita ajukan dapat diproses, kita mengacu
pada dasar menentukan kewenangan relatif pengadilan negeri.
M. Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (hal. 96), menjelaskan
bahwa pada dasarnya masalah sengketa kewenangan mengadili yang diatur
pada Bagian Kedua, Bab XVI adalah kewenangan mengadili secara relatif.
Artinya, Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi mana yang berwenang
mengadili suatu perkara. Landasan pedoman menentukan kewenangan
mengadili bagi setiap Pengadilan Negeri ditinjau dari segi kompetensi
relatif, diatur dalam Bagian Kedua, Bab X, Pasal 84, Pasal 85, dan Pasal 86 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(“KUHAP”). Bertitik tolak dari ketentuan yang dirumuskan dalam ketiga
pasal tersebut, ada beberapa kriteria yang bisa dipergunakan Pengadilan
Negeri sebagai tolak ukur untuk menguji kewenangannya mengadili perkara
yang dilimpahkan penuntut umum kepadanya. Kriteria-kriteria yang
dimaksud antara lain adalah:
a. Tindak pidana dilakukan (locus delicti)
b. Tempat tinggal terdakwa dan tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil
Berikut penjelasannya:
a. Tempat tindak pidana dilakukan (locus delicti)
Menurut M. Yahya Harahap (ibid hal. 96-97),
inilah asas atau kriteria yang pertama dan utama. Pengadilan Negeri
berwenang mengadili setiap perkara pidana yang dilakukan dalam daerah
hukumnya. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 84 ayat (1) KUHAP yang berbunyi:
“Pengadilan negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya.”
Asas atau kriteria yang dipergunakan pada pasal ini adalah “tempat tindak pidana dilakukan” atau disebut locus delicti. M.
Yahya Harahap mengatakan bahwa prinsip dimaksud didasarkan atas tempat
terjadinya tindak pidana. Di tempat mana dilakukan tindak pidana atau di
daerah hukum Pengadilan Negeri mana dilakukan tindak pidana, Pengadilan
Negeri tersebut yang berwenang mengadili. Asas ini merupakan ketentuan
umum dalam menentukan kewenangan relatif. Yang pertama-tama diteliti
menentukan berwenang tidaknya memeriksa suatu perkara yang dilimpahkan
penuntut umum berdasar “tempat terjadinya” tindak pidana. Pengadilan
Negeri meneliti dengan seksama apakah tindak pidana itu terjadi di
wilayah hukumnya. Jika sudah nyata terjadi di lingkungan wilayah
hukumnya, dia yang berwenang memeriksa dan mengadilinya. Sebaliknya,
apabila dari hasil penelitian ternyata perbuatan tindak pidana dilakukan
di luar wilayah hukumnya, tidak berwenang untuk memeriksa dan
mengadilinya dan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan menyerahkan
surat pelimpahan perkara tersebut kepada Pengadilan Negeri yang
dianggapnya berwenang, dengan jalan mengeluarkan surat “penetapan”.
b. Tempat tinggal terdakwa dan tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil
M. Yahya Harahap (Ibid,
hal. 99-100) menjelaskan bahwa asas kedua menentukan kewenangan relatif
berdasar tempat tinggal sebagian besar saksi. Jika saksi yang hendak
dipanggil sebagian besar bertempat tinggal atau lebih dekat dengan suatu
Pengadilan Negeri maka Pengadilan Negeri tersebut yang paling berwenang
memeriksa dan mengadili. Asas ini diatur dalam Pasal 84 ayat (2) KUHAP (dan sekaligus mengecualikan atau menyingkirkan asas locus delicti) yang berbunyi:
“Pengadilan
negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal,
berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang
mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman
sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan
negeri itu daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang di dalam
daerahnya tindak pidana itu dilakukan.”
Lebih lanjut, M. Yahya Harahap menjelaskan bahwa penerapan asas tempat kediaman, dapat terjadi dalam hal-hal sebagai berikut:
1) Apabila
terdakwa bertempat tinggal di daerah hukum Pengadilan Negeri di mana
sebagian besar saksi yang hendak dipanggil bertempat tinggal.
Agar asas ini dapat diterapkan, terdapat dua syarat yang harus dipenuhi:
- Terdakwa bertempat tinggal di daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
- Sebagian besar saksi yang hendak dipanggil bertempat tinggal di daerah hukum pengadilan negeri tersebut.
Dengan
dipenuhinya kedua syarat tersebut, kewenangan relatif mengadili
terdakwa atau memeriksa perkara, beralih dari Pengadilan Negeri tempat
di mana peristiwa pidana terjadi ke Pengadilan Negeri tempat di mana
terdakwa bertempat tinggal.
2) Tempat kediaman terakhir terdakwa
Syarat yang harus dipenuhi:
- Terdakwa berkediaman terakhir di daerah hukum suatu Pengadilan Negeri.
- Sebagian besar saksi yang hendak dipanggil bertempat tinggal di daerah hukum Pengadilan Negeri tersebut.
Jadi,
apabila terdakwa melakukan tindak pidana di suatu daerah hukum
Pengadilan Negeri, akan tetapi ternyata terdakwa berkediaman terakhir di
daerah hukum Pengadilan Negeri yang lain. Demikian pula, saksi-saksi
yang hendak dipanggil sebagian besar bertempat tinggal atau lebih dekat
dengan daerah hukum Pengadilan Negeri tempat kediaman terakhir terdakwa,
asas locus delicti dapat dikesampingkan, dan yang berwenang mengadili ialah Pengadilan Negeri tempat kediaman terakhir terdakwa.
3) Di tempat terdakwa diketemukan
Di
samping itu, tempat terdakwa diketemukan dapat dijadikan asas
menentukan kewenangan relatif Penagdilan Negeri dengan jalan
menyampingkan locus delicti dengan syarat:
- Terdakwa diketemukan di suatu daerah hukum Pengadilan Negeri, serta
- Saksi-saksi yang hendak dipanggil kebanyakan bertempat tinggal atau lebih dekat dengan Pengadilan Negeri tempat di mana terdakwa diketemukan.
Tempat terdakwa diketemukan dapat mengesampingkan asas locus delicti apabila
sebagian besar saksi yang akan dipanggil bertempat tinggal atau lebih
dekat dengan Pengadilan Negeri tempat di mana terdakwa diketemukan.
4) Di tempat terdakwa ditahan
Syarat-syaratnya adalah:
- Tempat penahanan terdakwa
- Saksi-saksi yang hendak diperiksa sebagian besar bertempat tinggal atau lebih dekat ke Pengadilan Negeri tempat di mana terdakwa ditahan
Dengan
demikian, berdasarkan penjelasan yang telah kami uraikan di atas dapat
disimpulkan bahwa kita dapat melakukan proses perkara dengan melakukan
penuntutan atas dasar tindak pidana sesuai kompetensi relatif
pengadilan negeri berdasarkan asas-asas dan persyaratan yang kami
jelaskan.
Pada
intinya, di manapun orang yang menjadi pelaku kejahatan/penggelapan barang dan lain-lain berada, tuntutan dan jeratan hukum terhadapnya dapat dilakukan
meskipun keberadaan si pelaku berbeda pulau dengan kita.
Dasar hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
- Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2007 tentang Daerah Hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia
Referensi:
- R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor.
- M. Yahya Harahap. 2010. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Sinar Grafika: Jakarta.
DISCLAIMER : Seluruh informasi dan data yang disediakan dalam Klinik hukum ini
adalah bersifat umum dan disediakan untuk tujuan pendidikan saja. Dengan
demikian tidak dianggap sebagai suatu nasehat hukum.
Disarankan untuk mengecek kembali dasar hukum yang digunakan dalam artikel ini untuk memastikan peraturan perundang-undangan yang digunakan masih berlaku.
Disarankan untuk mengecek kembali dasar hukum yang digunakan dalam artikel ini untuk memastikan peraturan perundang-undangan yang digunakan masih berlaku.
Post by Doel Piero.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !