Saya ingin bertanya tentang pemberlakuan hukum secara surut (retroaktif). Apakah dalam memutuskan suatu perkara korupsi hakim boleh memberlakukan hukum secara retroaktif? Seandainya hakim memberlakukan hukum retroaktif, apa implikasinya terhadap putusan tersebut, apakah bisa dikatakan batal demi hukum? Apakah pihak kejaksaan boleh melakukan eksekusi terhadap suatu putusan yang berdasarkan hukum berlaku surut?
Jawaban:
Berdasarkan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
Pemberlakuan hukum secara surut (retroaktif) merupakan penyimpangan dari prinsip utama hukum pidana (legalitas) sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”):
“Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.”
Pengecualian atas asas retroaktif menurut Prof. Jimly Asshidiqie hanya dapat diberlakukan pada kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam Penjelasan Pasal 104 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, kejahatan terhadap kemanusiaan disebut dengan pelanggaran hak asasi manusia yang berat seperti pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic diserimination). Sedangkan korupsi tidak termasuk di dalamnya.
Meskipun, hingga saat ini masih ada perdebatan mengenai hal ini, apakah korupsi dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat atau tidak.
Pendapat lain pernah dikemukakan oleh Dr. Indriyanto Seno Adji, salah satu tim pakar yang menggodok perubahan UU No. 31 tahun 1999 yang berpendapat bahwa sesuai Doktrin International Covenant Economic and Social Right, tindak pidana korupsi itu dapat dimasukkan dalam kriteria pelanggaran HAM berat. Lebih jauh simak artikel Korupsi Merupakan Pelanggaran HAM Berat dan Korupsi Diarahkan Menjadi Kejahatan Terhadap Kemanusiaan.
Mengenai penyimpangan atau pengecualian dari asas larangan berlaku surut ini, E.Y. Kanter, S.H. dan S.R. Sianturi, S.H. dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya (hal. 71) mengatakan bahwa ketentuan dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP tidaklah berlaku mutlak. Pengecualian atau penyimpangan dari ketentuan tersebut dapat dibuat oleh pembuat undang-undang dengan peraturan yang sederajat. KUHP (Wetboek van Starfrecht) disetarakan dengan “undang-undang” sehingga pengecualian atau penyimpangan asas retroaktif bisa dilakukan dengan menerbitkan undang-undang.
Jadi, sepanjang UU pemberantasan korupsi yang saat ini berlaku (UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi– “UU Pemberantasan Tipikor”) tidak mengatur atau memberikan peluang diberlakukannya asas retroaktif, maka pemberlakuan surut hukum untuk tindak pidana korupsi belum dapat dilakukan.
Dalam hal hakim menerapkan asas retroaktif dalam perkara korupsi, dapat dikatakan hakim salah menerapkan hukum, sehingga dapat ditempuh upaya hukum kasasi (Pasal 244 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana– “KUHAP”).
Jaksa sebagai pelaksana putusan pengadilan harus melaksanakan isi putusan Hakim tindak pidana korupsi yang telah memiliki kekuatan hukum tetap sepanjang putusan tersebut belum dibatalkan (Pasal 1 angka 6KUHAP jo. Pasal 30 ayat (1) huruf b UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia).
Jadi, sampai saat ini, pemberlakuan asas retroaktif belum dimungkinkan oleh UU Pemberantasan Tipikor. Sehingga, hakim tidak seharusnya memberlakukan surut hukum untuk perkara korupsi kecuali ada peraturan (undang-undang) yang memungkinkannya.
Dasar hukum :
1. Undang-Undang Dasar 1945;
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht Staatsblad Nomor 732 Tahun 1915);
3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
6. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia;
Pernyataan Penyangkalan / Disclaimer Seluruh informasi dan data yang disediakan disini adalah bersifat umum dan disediakan untuk tujuan pendidikan saja. Dengan demikian tidak dianggap sebagai suatu nasehat hukum. Pada dasarnya kami tidak menyediakan informasi yang bersifat rahasia dan hubungan klien - penasehat hukum tidak terjadi. Untuk suatu nasehat hukum yang dapat diterapkan pada kasus yang Anda hadapi, Anda dapat menghubungi seorang penasehat hukum yang berpotensi. Kami berhak sepenuhnya mengubah judul dan/atau isi pertanyaan tanpa mengubah substansi dari hal-hal yang ditanyakan.
Post by Doel Piero.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !