Dapatkah hakim langsung menetapkan seorang saksi menjadi tersangka setelah di persidangan ditemukan bukti keterlibatan saksi tersebut atas suatu perkara?
a) Persesuaian keterangan satu saksi dengan saksi lain.
b) Persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti lain.
c) Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan keterangan tertentu; dan
d) Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
Pada dasarnya status tersangka bisa diterapkan kepada orang yang diduga melakukan tindak pidana. Bisa jadi, sebelumnya yang bersangkutan berstatus sebagai saksi. Putusan Mahkamah Agung No. 205K/Kr/1957 tertanggal 12 Oktober 1957 menyebutkan, untuk menentukan siapa yang akan dituntut melakukan suatu tindak pidana semata-mata dibebankan kepada penuntut umum. Namun, di dalam ruang sidang, hakimlah yang paling berkuasa, termasuk memilah-milah siapa saksi yang harus dimintai keterangan (lihat SEMA No. 2 Tahun 1985 tentang Seleksi Terhadap Saksi-Saksi yang Diperintahkan Untuk Hadir di Sidang Pengadilan).
Jika dalam persidangan ditemukan bukti keterlibatan saksi dalam suatu perkara, hakim dapat meminta aparat penegak hukum lain untuk menindaklanjuti dugaan keterlibatan saksi tersebut. Sesuai pertanyaan Anda, jika ditemukan bukti yang cukup dalam perkara yang sama, maka kepada saksi dapat dikenakan status tersangka. Hakim biasanya menyarankan dan tidak langsung menetapkan status tersangka.
Kewenangan hakim untuk secara langsung menetapkan saksi menjadi tersangka dikenal KUHAP, tetapi untuk tindak pidana memberikan keterangan palsu. Kewenangan itu diatur dalam Pasal 174 KUHAP. Sebelum status tersangka ditetapkan, hakim lebih dahulu memperingatkan saksi berupa ancaman sanksi memberikan keterangan palsu. Jika tetap memberikan keterangan yang diduga hakim palsu, maka hakim langsung memerintahkan saksi ditahan dan dituntut oleh penuntut umum karena sumpah palsu. Jika hakim menetapkan demikian, maka Panitera langsung membuat berita acara pemeriksaan sidang untuk diserahkan ke penuntut umum sebagai dasar menuntut tersangka.
Contoh lain juga disebut Prof. Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Hukum Acara Pidana di Indonesia. Status tersangka kepada saksi dapat ditetapkan jika saksi yang dipanggil secara patut secara sadar tidak mau datang ke pengadilan. Menurut Wirjono, saksi semacam itu mungkin dapat ditetapkan melanggar Pasal 224 KUHP. Hakim tinggal memerintahkan panitera membuat berita acara, lalu dikirim ke jaksa, untuk dilakukan penuntutan.
REFERENSI
1. Wirjono Prodjodikoro. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Cet-2. Bandung: Vorkink-Van Hoeve Bandung-S’Gravenhage, tanpa tahun.
2. Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2001.
3. Leo Suryadarmawan. Himpunan Keputusan-Keputusan dari Mahkamah Agung RI. Jilid 1. Jakarta: Tjerdas, 1962.
Dasar hukum:
1. Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R) (S. 1941-44);
2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
3. SEMA No. 2 Tahun 1985 tentang Seleksi Terhadap Saksi-Saksi yang Diperintahkan Untuk Hadir di Sidang Pengadilan.
Berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), seseorang ditetapkan sebagai tersangka manakala ditemukan bukti permulaan yang cukup. Untuk membuktikan terjadinya tindak pidana, penyidik menghadirkan saksi-saksi. Saksi adalah orang yang ‘sangat dekat’ dengan peristiwa pidana karena ia mendengar, melihat, atau mengalami sendiri tindak pidana. Adakalanya saksi adalah tersangka untuk perkara yang sama, sehingga dikenal istilah saksi mahkota.
HIR dan KUHAP pada dasarnya menganut prinsip yang sama, hanya keterangan saksi yang disumpah yang bisa dijadikan alat bukti. Karena begitu pentingnya peranan saksi dalam mengungkap suatu tindak pidana, KUHAP banyak mengatur kehadiran saksi di persidangan.
Keterangan saksi adalah alat bukti pertama yang disebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. KUHAP juga meminta hakim ‘bersungguh-sungguh memperhatikan’ keterangan saksi demi kepentingan penilaian kebenaran keterangan tersebut. Hal ini menunjukkan begitu pentingnya keterangan saksi. Ada empat hal yang perlu sungguh-sungguh diperhatikan hakim, yaitu:
a) Persesuaian keterangan satu saksi dengan saksi lain.
b) Persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti lain.
c) Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan keterangan tertentu; dan
d) Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
Pada dasarnya status tersangka bisa diterapkan kepada orang yang diduga melakukan tindak pidana. Bisa jadi, sebelumnya yang bersangkutan berstatus sebagai saksi. Putusan Mahkamah Agung No. 205K/Kr/1957 tertanggal 12 Oktober 1957 menyebutkan, untuk menentukan siapa yang akan dituntut melakukan suatu tindak pidana semata-mata dibebankan kepada penuntut umum. Namun, di dalam ruang sidang, hakimlah yang paling berkuasa, termasuk memilah-milah siapa saksi yang harus dimintai keterangan (lihat SEMA No. 2 Tahun 1985 tentang Seleksi Terhadap Saksi-Saksi yang Diperintahkan Untuk Hadir di Sidang Pengadilan).
Jika dalam persidangan ditemukan bukti keterlibatan saksi dalam suatu perkara, hakim dapat meminta aparat penegak hukum lain untuk menindaklanjuti dugaan keterlibatan saksi tersebut. Sesuai pertanyaan Anda, jika ditemukan bukti yang cukup dalam perkara yang sama, maka kepada saksi dapat dikenakan status tersangka. Hakim biasanya menyarankan dan tidak langsung menetapkan status tersangka.
Kewenangan hakim untuk secara langsung menetapkan saksi menjadi tersangka dikenal KUHAP, tetapi untuk tindak pidana memberikan keterangan palsu. Kewenangan itu diatur dalam Pasal 174 KUHAP. Sebelum status tersangka ditetapkan, hakim lebih dahulu memperingatkan saksi berupa ancaman sanksi memberikan keterangan palsu. Jika tetap memberikan keterangan yang diduga hakim palsu, maka hakim langsung memerintahkan saksi ditahan dan dituntut oleh penuntut umum karena sumpah palsu. Jika hakim menetapkan demikian, maka Panitera langsung membuat berita acara pemeriksaan sidang untuk diserahkan ke penuntut umum sebagai dasar menuntut tersangka.
Contoh lain juga disebut Prof. Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Hukum Acara Pidana di Indonesia. Status tersangka kepada saksi dapat ditetapkan jika saksi yang dipanggil secara patut secara sadar tidak mau datang ke pengadilan. Menurut Wirjono, saksi semacam itu mungkin dapat ditetapkan melanggar Pasal 224 KUHP. Hakim tinggal memerintahkan panitera membuat berita acara, lalu dikirim ke jaksa, untuk dilakukan penuntutan.
REFERENSI
1. Wirjono Prodjodikoro. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Cet-2. Bandung: Vorkink-Van Hoeve Bandung-S’Gravenhage, tanpa tahun.
2. Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2001.
3. Leo Suryadarmawan. Himpunan Keputusan-Keputusan dari Mahkamah Agung RI. Jilid 1. Jakarta: Tjerdas, 1962.
Dasar hukum:
1. Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R) (S. 1941-44);
2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
3. SEMA No. 2 Tahun 1985 tentang Seleksi Terhadap Saksi-Saksi yang Diperintahkan Untuk Hadir di Sidang Pengadilan.
Pernyataan Penyangkalan / Disclaimer Seluruh informasi dan data yang disediakan disini adalah bersifat umum dan disediakan untuk tujuan pendidikan saja. Dengan demikian tidak dianggap sebagai suatu nasehat hukum. Pada dasarnya kami tidak menyediakan informasi yang bersifat rahasia dan hubungan klien - penasehat hukum tidak terjadi. Untuk suatu nasehat hukum yang dapat diterapkan pada kasus yang Anda hadapi, Anda dapat menghubungi seorang penasehat hukum yang berpotensi. Kami berhak sepenuhnya mengubah judul dan/atau isi pertanyaan tanpa mengubah substansi dari hal-hal yang ditanyakan.
Post by Doel Piero.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !