1. Apakah tersangka berhak tahu siapa yang mengadukannya?
2. Apakah tersangka berhak tahu bukti pengaduan terhadap dirinya?
Jawaban:
1. Tersangka yang diproses pidana karena suatu aduan, berarti ia dituduh melakukan suatu tindak pidana delik aduan, dan karena itu ia menjadi berurusan dengan pihak kepolisian.
R.Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) (hal. 88) memberikan contoh dari tindak pidana delik aduan yaitu tindak pidana yang diatur dalam Pasal 284, 287, 293, 310, 322, 332, 367, 369, 370, 376, 394, 404, dan 411 KUHP. Untuk mengetahui perbedaan antara aduan dengan laporan simak artikel Perbedaan Pengaduan dengan Pelaporan.
Dalam Pasal 18 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), disebutkan:
“Pelaksanaan tugas penangkapan. dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (1) KUHAP tersebut, dalam hal penangkapan, tersangka hanya akan dijelaskan mengenai alasan penangkapan, kejahatan yang dipersangkakan kepadanya, serta tempat ia diperiksa. Dalam pasal tersebut maupun pasal-pasal lainnya dalam KUHAP tidak diatur soal hak tersangka untuk diberi tahu pihak yang mengadukan atau melaporkan kejahatannya ke polisi.
Orang yang mengadukan suatu tindak pidana dapat sebagai saksi atau korban dari tindak pidana tersebut. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) huruf a UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, bahwa seorang saksi dan korban berhak memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Jadi, saksi dan korban beserta keluarga, dan harta bendanya berhak atas perlindungan.
Kemudian, di dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b dan huruf c Perkapolri No. 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana, disebutkan bahwa prinsip penyelenggaraan pelayanan saksi dan/atau korban antara lain memberikan jaminan keselamatan terhadap saksi dan/atau korban yang memberikan keterangan dan menjaga kerahasiaan saksi dan/atau korban.
Jadi, dalam proses hukum suatu tindak pidana, tersangka tidak berhak untuk mengetahui pihak yang mengadukannya karena petugas kepolisian wajib merahasiakan identitas dari saksi atau korban yang menyampaikan pengaduan ataupun laporan kejahatan.
2. Dalam hukum acara pidana dikenal istilah alat bukti dan barang bukti, untuk mengetahui perbedaan keduanya, simak artikel Apa Perbedaan Alat Bukti dengan Barang Bukti? Di dalam artikel tersebut dijelaskan antara lain bahwa barang bukti merupakan penunjang dari alat bukti yang sah. Kehadiran suatu barang bukti tidak mutlak dalam suatu perkara pidana, karena ada beberapa tindak pidana yang dalam proses pembuktiannya tidak memerlukan barang bukti, seperti tindak pidana penghinaan secara lisan (Pasal 310 ayat [1] KUHP) (Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti, hal. 19).
Jika yang Anda maksud dengan bukti adalah barang bukti, maka KUHAP tidak mengatur hak tersangka untuk diperlihatkan barang bukti selama proses penyidikan. Karena penyidikan sendiri merupakan proses yang dilakukan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi, juga guna menemukan tersangka (lihat Pasal 1 angka 2 KUHAP). Segala barang bukti tindak pidana baru akan diperlihatkan kepada tersangka/terdakwa pada tahap pembuktian di persidangan. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 181 ayat (1) KUHAP yang berbunyi:
“Hakim ketua sidang memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepada terdakwa apakah ia mengenal benda itu dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 undang-undang ini.”
Jadi, menurut KUHAP, segala barang bukti tindak pidana baru akan diperlihatkan kepada terdakwa pada tahap pembuktian di persidangan, dan bukan pada tahap penyidikan (saat masih berstatus tersangka).
Demikian yang kami ketahui, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht Staatsblad Nomor 732 Tahun 1915)
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
4. Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban Tindak Pidana
Pernyataan Penyangkalan / Disclaimer
Seluruh informasi dan data yang disediakan disini adalah bersifat umum dan disediakan untuk tujuan pendidikan saja. Dengan demikian tidak dianggap sebagai suatu nasehat hukum.
Pada dasarnya kami tidak menyediakan informasi yang bersifat rahasia dan hubungan klien - penasehat hukum tidak terjadi. Untuk suatu nasehat hukum yang dapat diterapkan pada kasus yang Anda hadapi, Anda dapat menghubungi seorang penasehat hukum yang berpotensi.
Kami berhak sepenuhnya mengubah judul dan/atau isi pertanyaan tanpa mengubah substansi dari hal-hal yang ditanyakan.
Seluruh informasi dan data yang disediakan disini adalah bersifat umum dan disediakan untuk tujuan pendidikan saja. Dengan demikian tidak dianggap sebagai suatu nasehat hukum.
Pada dasarnya kami tidak menyediakan informasi yang bersifat rahasia dan hubungan klien - penasehat hukum tidak terjadi. Untuk suatu nasehat hukum yang dapat diterapkan pada kasus yang Anda hadapi, Anda dapat menghubungi seorang penasehat hukum yang berpotensi.
Kami berhak sepenuhnya mengubah judul dan/atau isi pertanyaan tanpa mengubah substansi dari hal-hal yang ditanyakan.
No comments:
Post a Comment
Komentar anda adalah bentuk apresiasi non verbal yang sangat berguna bagi situs ini. Tulislah beberapa kata untuk perkenalan dengan saya