Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Pasal Apa untuk Menjerat Pacar yang Menolak Bertanggung Jawab?, berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), jika
kedua orang tersebut adalah orang dewasa dan melakukan perbuatan
tersebut (hubungan badan layaknya suami-istri) dengan kesadaran penuh,
maka tidak dapat dilakukan penuntutan pidana terhadap laki–laki yang
tersebut. Namun, halnya berbeda jika salah satu atau keduanya terikat
dalam perkawinan, maka perbuatan tersebut dapat dipidana karena zina
sepanjang adanya pengaduan dari pasangan resmi salah satu atau kedua
belah pihak (lihat Pasal 284 KUHP). Selain itu, jika perbuatan
tersebut dilakukan di mana salah satu atau keduanya masih anak–anak,
maka pelakunya dapat diancam pidana karena pencabulan anak sebagaimana
diatur dalam Pasal 82 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Berikut
kami akan menguraikan hal-hal tersebut: Pertama, kami kurang
mendapatkan informasi dari Anda apakah perbuatan “menghamili”
tersebut dilakukan oleh pria WNA dengan wanita WNI yang keduanya
sama-sama sudah dewasa? Apabila keduanya telah dewasa, atas dasar suka
sama suka, dan dengan kesadaran penuh, maka sebenarnya memang pria WNA
tersebut tidak dapat dikenakan tuntutan pidana. Seperti yang kita
ketahui, di Indonesia sendiri berhubungan seks di luar perkawinan
dipandang bertentangan dengan nilai-nilai moral yang hidup di
masyarakat. Dalam kasus ini, dengan jalan menikahi pasangan tersebutlah
yang banyak dipilih oleh masyarakat.
Kedua,
sebagaimana yang telah disinggung di atas, apabila salah satunya
terikat dalam perkawinan, maka perbuatan tersebut dapat dipidana atas
dasar perbuatan zina sesuai Pasal 284 KUHP. Penjelasan lebih lanjut
mengenai perzinahan dapat Anda simak dalam artikel Foto Mesra Istri Bersama Pria Lain Sebagai Bukti Perzinahan.
Ketiga,
jika wanita WNI tersebut adalah anak di bawah umur, maka pria WNA
tersebut dapat dikenakan Pasal 82 UU Perlindungan Anak yang berbunyi:
“Setiap
orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,
memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk
anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling
singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta
rupiah).“
Jadi,
untuk mengetahui dapat tidaknya pria tersebut dikenakan tuntutan pidana
harus mengacu pada ketiga kemungkinan yang kami uraikan di atas. Selain
itu, ada pula cara lain yang mungkin dapat dilakukan oleh si wanita
apabila ia dihamili oleh pria tersebut.
Seperti dijelaskan dalam artikel Tidak Menepati Janji Menikahi Adalah PMH, pihak wanita dapat menggugat secara perdata atas dasar Perbuatan Melawan Hukum (“PMH”) pria yang telah menghamilinya, jika
sebelumnya pria tersebut menjanjikan untuk menikahi wanita namun tidak
menepatinya, dan telah terjadi pertunangan atau pengumuman akan
terjadinya perkawinan. Si wanita dapat menuntut si pria memberi ganti kerugian untuk pemulihan nama baiknya.
Selanjutnya,
kami akan berfokus pada poin lain yang juga penting dijelaskan terkait
tindak pidana yang dilakukan oleh WNA. Prinsip yang erat kaitannya
dengan hal ini adalah prinsip teritorialitas. Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H. dalam bukunya yang berjudul Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia menjelaskan
bahwa prinsip teritorialitas adalah prinsip yang menganggap hukum
pidana Indonesia berlaku di dalam wilayah Republik Indonesia, siapapun
yang melakukan tindak pidana. Ini ditegaskan dalam Pasal 2 KUHP yang
menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku
bagi siapa saja yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah negara
Indonesia (hal. 51).
Masih mengenai Pasal 2 KUHP, R Soesilo dalam bukunya yang berjudul “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal”,
menyatakan bahwa tiap orang berarti siapa juga, baik WNI sendiri,
maupun WNA, dengan tidak membedakan kelamin atau agama, kedudukan atau
pangkat, yang berbuat peristiwa pidana dalam wilayah Republik Indonesia
(hal. 29).
Dengan
demikian, wanita WNI yang dihamili oleh pria
WNA tersebut tetap bisa melakukan penuntutan pidana terhadap pria WNA
apabila memang unsur-unsur Pasal 284 KUHP atau Pasal 82 UU Perlindungan
Anak terpenuhi. Hal ini dimungkinkan karena alasan asas teritorialitas
yang dianut oleh Indonesia yang telah kami jelaskan di atas tadi.
Dasar hukum:
Referensi:
R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor.
DISCLAIMER : Seluruh informasi dan data yang disediakan dalam Klinik hukum ini
adalah bersifat umum dan disediakan untuk tujuan pendidikan saja. Dengan
demikian tidak dianggap sebagai suatu nasehat hukum.
Disarankan untuk mengecek kembali dasar hukum yang digunakan dalam artikel ini untuk memastikan peraturan perundang-undangan yang digunakan masih berlaku.
Disarankan untuk mengecek kembali dasar hukum yang digunakan dalam artikel ini untuk memastikan peraturan perundang-undangan yang digunakan masih berlaku.
Post by Doel Piero.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !