Monday, 16 December 2013

Bisakah Menuntut Jika Dihamili WNA?

Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Pasal Apa untuk Menjerat Pacar yang Menolak Bertanggung Jawab?, berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), jika kedua orang tersebut adalah orang dewasa dan melakukan perbuatan tersebut (hubungan badan layaknya suami-istri) dengan kesadaran penuh, maka tidak dapat dilakukan penuntutan pidana terhadap laki–laki yang tersebut. Namun, halnya berbeda jika salah satu atau keduanya terikat dalam perkawinan, maka perbuatan tersebut dapat dipidana karena zina sepanjang adanya pengaduan dari pasangan resmi salah satu atau kedua belah pihak (lihat Pasal 284 KUHP). Selain itu, jika perbuatan tersebut dilakukan di mana salah satu atau keduanya masih anak–anak, maka pelakunya dapat diancam pidana karena pencabulan anak sebagaimana diatur dalam Pasal 82 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Berikut kami akan menguraikan hal-hal tersebut: Pertama, kami kurang mendapatkan informasi dari Anda apakah perbuatan “menghamili” tersebut dilakukan oleh pria WNA dengan wanita WNI yang keduanya sama-sama sudah dewasa? Apabila keduanya telah dewasa, atas dasar suka sama suka, dan dengan kesadaran penuh, maka sebenarnya memang pria WNA tersebut tidak dapat dikenakan tuntutan pidana. Seperti yang kita ketahui, di Indonesia sendiri berhubungan seks di luar perkawinan dipandang bertentangan dengan nilai-nilai moral yang hidup di masyarakat. Dalam kasus ini, dengan jalan menikahi pasangan tersebutlah yang banyak dipilih oleh masyarakat.
Kedua, sebagaimana yang telah disinggung di atas, apabila salah satunya terikat dalam perkawinan, maka perbuatan tersebut dapat dipidana atas dasar perbuatan zina sesuai Pasal 284 KUHP. Penjelasan lebih lanjut mengenai perzinahan dapat Anda simak dalam artikel Foto Mesra Istri Bersama Pria Lain Sebagai Bukti Perzinahan.
Ketiga, jika wanita WNI tersebut adalah anak di bawah umur, maka pria WNA tersebut dapat dikenakan Pasal 82 UU Perlindungan Anak yang berbunyi:

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Jadi, untuk mengetahui dapat tidaknya pria tersebut dikenakan tuntutan pidana harus mengacu pada ketiga kemungkinan yang kami uraikan di atas. Selain itu, ada pula cara lain yang mungkin dapat dilakukan oleh si wanita apabila ia dihamili oleh pria tersebut.
Seperti dijelaskan dalam artikel Tidak Menepati Janji Menikahi Adalah PMH, pihak wanita dapat menggugat secara perdata atas dasar Perbuatan Melawan Hukum (“PMH”) pria yang telah menghamilinya, jika sebelumnya pria tersebut menjanjikan untuk menikahi wanita namun tidak menepatinya, dan telah terjadi pertunangan atau pengumuman akan terjadinya perkawinan.  Si wanita dapat menuntut si pria memberi ganti kerugian untuk pemulihan nama baiknya.
Selanjutnya, kami akan berfokus pada poin lain yang juga penting dijelaskan terkait tindak pidana yang dilakukan oleh WNA. Prinsip yang erat kaitannya dengan hal ini adalah prinsip teritorialitas. Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H. dalam bukunya yang berjudul Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia menjelaskan bahwa prinsip teritorialitas adalah prinsip yang menganggap hukum pidana Indonesia berlaku di dalam wilayah Republik Indonesia, siapapun yang melakukan tindak pidana. Ini ditegaskan dalam Pasal 2 KUHP yang menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi siapa saja yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah negara Indonesia (hal. 51).
Masih mengenai Pasal 2 KUHP, R Soesilo dalam bukunya yang berjudul “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal”, menyatakan bahwa tiap orang berarti siapa juga, baik WNI sendiri, maupun WNA, dengan tidak membedakan kelamin atau agama, kedudukan atau pangkat, yang berbuat peristiwa pidana dalam wilayah Republik Indonesia (hal. 29).
Dengan demikian, wanita WNI yang dihamili oleh pria WNA tersebut tetap bisa melakukan penuntutan pidana terhadap pria WNA apabila memang unsur-unsur Pasal 284 KUHP atau Pasal 82 UU Perlindungan Anak terpenuhi. Hal ini dimungkinkan karena alasan asas teritorialitas yang dianut oleh Indonesia yang telah kami jelaskan di atas tadi.

Dasar hukum:
Referensi:
R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor.
DISCLAIMER : Seluruh informasi dan data yang disediakan dalam Klinik hukum ini adalah bersifat umum dan disediakan untuk tujuan pendidikan saja. Dengan demikian tidak dianggap sebagai suatu nasehat hukum.

Disarankan untuk mengecek kembali dasar hukum yang digunakan dalam artikel ini untuk memastikan peraturan perundang-undangan yang digunakan masih berlaku.

No comments:

Post a Comment

Komentar anda adalah bentuk apresiasi non verbal yang sangat berguna bagi situs ini. Tulislah beberapa kata untuk perkenalan dengan saya